Trip Gimpu- Moa Kulawi Selatan Melalui Jembatan “Siratal Mustaqim“

Main Posts Background Image

Main Posts Background Image

Rabu, 20 April 2022

Trip Gimpu- Moa Kulawi Selatan Melalui Jembatan “Siratal Mustaqim“




Jam menunjukkan pukul 10.00 ketika kami beristirahat di Desa Lempelero, Kecamatan Kulawi Selatan. Sambil berteduh dari terik mentari yang menyengat, kami makan siang di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Ini adalah warung terbaik yang kami temui setelah menempuh jarak 97 kilometer dalam perjalanan dari Palu ke Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan.

Warung berlantai tanah ini, menyediakan dua bangku kayu yang ukurannya tidak lebih dari satu meter. Sementara di tengahnya terdapat satu meja yang di atasnya terhidang telur rebus dan botol saus tomat.

Rasa penat karena perjalanan jauh membuat kami melahap nasi seperti orang kelaparan. Hanya dalam hitungan menit, kami berempat menandaskan sebakul nasi. Hidangan sederhana, berupa nasi kuning dan telur rebus, itu akhirnya dapat memulihkan energi saya yang nyaris terkuras habis. Segelas kopi susu dan sebotol air putihpun melengkapi kenikmatan saat itu.

Setelah beristirahat sejenak, kamipun mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Tas pungggung yang tadi saya turunkan kembali saya ikat di atas motor. diisi berbagai macam perlengkapan, beratnyapun hampir separuh bobot orang dewasa.

Setelah barang-barang siap, kami segera memacu motor melanjutkan perjalanan menuju Desa Moa yang terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Di depan kami, perjalanan masih sekitar dua puluh empat (24) kilometer lagi dengah medan yang tak mudah. Sebagaimana layaknya kondisi alam Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi juga demikian; selain jalan lintas utama, banyak jalan yang boleh dibilang jelek atau tidak begitu bagus kondisinya.

Dalam hati sempat terbersit rasa khawatir, terutama setelah kami mendapat peringatan dari tukang ojek yang kami temui sebelumnya, agar kami berhati-hati karena menurutnya, kondisi jalan sangat sulit dan buruk karena sudah hampir seminggu diguyur hujan. Terpeleset, melintir dan jatuh adalah risiko yang lazim bagi pemotor pada musim seperti ini.

Selama satu jam pertama, perjalanan lancar tanpa hambatan. Tantangan pertama datang saat memasuki penyebrangan jembatan gantung pertama di desa Moa. Saya berhenti dalam antrean yang kurang tertib. Tak ada polisi atau seseorang yang mengatur antrean sehingga Jembatan Gantung Sungai Kababuru yang tidak bisa dilalui bersimpangan itu waktunya tidak terbagi rata bagi kendaraan dari kedua arah.

Ini sudah lumayan lancar. Di sini juga saya melihat solidaritas dan kerjasama sesama tukang ojek, dalam menopang dan membantu ojek lainnya supaya jangan sampai ada yang terpeleset dan terjun ke dalam Sungai Kababuru.

Ini sudah lumayan lancar. Di sini juga saya melihat solidaritas dan kerjasama sesama tukang ojek, dalam menopang dan membantu ojek lainnya supaya jangan sampai ada yang terpeleset dan terjun ke dalam Sungai Kababuru. Hal ini dilakukan karena kondisi jembatan yang cukup memprihatinkan. Papan landasannya, banyak yang sudah rusak. Belum lagi kawat jembatan yang sudah berkarat membuat siapapun yang melewati jembatan harus penuh dengan kewaspadaan.

Jantung saya berdegup kencang ketika mendapat giliran untuk memasuki jembatan bergoyang ini. Entah dari mana, tukang ojek di belakang tahu hal itu. “Pak tancap saja gasnya, usahakan ikut patokan papan yang ada di tengahnya,” teriaknya dari belakang.

Saya terdiam meskipun kata-katanya terdengar jelas di telinga. Pikiran dan pandangan saya tertuju penuh pada jalur bambu sepanjang dua puluh lima (25) meter yang dilapisi papan di tengahnya itu. Kondisinya yang jauh dari layak membuat saya merinding. Di sana-sini banyak bagian yang rusak. Papan pelapis atasnya dipaku sekadarnya di atas bambu yang terlihat sudah lapuk dan berlubang-lubang.

Dalam beberapa kejap saya telah sampai di ujung jembatan gantung tua itu. Perasaan lega langsung merasuki seluruh dada saya seperti baru lepas dari jembatan “Sirotol Mustaqim.” Setelah turun dari kayu di ujung jembatan, baru saya sadar sepenuhnya, ternyata baru saja saya mempertaruhkan nyawa untuk menempuh jarak dua puluh lima meter ini.

Sesekali saya juga harus menurunkan kaki dari pijakan motor untuk menopang stabilitas kendaraan saat bermanuver menghindari lubang-lubang berlumpur dan batu cadas. Kondisi jalan seperti itu harus kami “nikmati” sampai satu jam berikutnya. Kamipun semakin jauh masuk ke dalam kawasan hutan rimba Taman Nasional Lore Lindu.

Seling utama jembatan ini berupa kawat yang tidak seberapa kuat, menurut saya beban maksimal yang bisa ditangungnya tak lebih dari satu ton. Itupun kalau kawat selingnya dalam kondisi baru. Kalau yang ini, mencapai setengahnya saja sudah bagus.

Jembatan ini tidak solid dan sedikit bergoyang ketika dilewati sepeda motor. Sedikit saja kesalahan, motor dan badan saya pasti sudah terbanting ke dasar sungai yang berbatu-batu itu. Setelah mengumpulkan keberanian, sayapun memutar gas motor pelan-pelan sesuai dengan aba-aba si tukang ojek.

Muatan yang saya ikat di jok belakang membuat motor menjadi kurang stabil. Seandainya ada pilihan lain, mungkin saya rela memutar melalui jalan yang lebih jauh. Tetapi itu mustahil, saya hanya bagian dari rombongan yang ingin cepat sampai tujuan. Maka segala ketakutan saya telan dahulu.

Namun masyarakat di sini bisa melakukannya sambil bersiul-siul. Tukang ojek di depan saya memuat semen dua sak ditambah barang-barang campuran yang menumpuk setinggi bukit sampai menutupi pengendarannya.

Lepas dari jembatan primitif itu bukan berarti masalah selesai. Badan jalan ternyata menyempit dibandingkan sebelum melewati jembatan gantung tadi. Jalan berlumpur, berlubang-lubang bahkan sedalam kubangan kerbau. Laju motorpun harus diperlambat dengan sering mengerem karena kami jalan berkonvoi.

Terdengar bunyi gemuruh air terjun yang berbaur dengan suara serangga hutan. Jalanan mulai mendekati aliran sungai yang ternyata Sungai Lariang . Sungai Lariang adalah sungai terpanjang di daratan Sulawesi dan melewati tiga kabupaten yaitu Poso (Sulawesi Tengah), Sigi (Sulawesi Tengah) dan Mamuju Utara (Sulawesi Barat). (Desmon) 

 




Error 404

The page you were looking for, could not be found. You may have typed the address incorrectly or you may have used an outdated link.

Go to Homepage
Dirgahayu ke 20 Tahun Karsa Institute (KARSA Inisiatif Timur Indonesia) | |